Jumlah sepeda motor pada saat ini dirasakan terlalu banyak. Pada jam pergi dan pulang kantor, jumlah motor di jalan raya pada saat yang bersamaan itu bisa mencapai angka ratusan ribu.
Bahkan, pada saat semua kendaraan berhenti di lampu pengatur lalu lintas, atau semua kendaraan tertahan karena satu dan lain hal, maka tiba-tiba jumlah sepeda motor yang ikut berhenti atau tertahan itu sedemikian banyaknya hingga sering diibaratkan mirip kawanan lebah di sarangnya.
Angka penjualan sepeda motor dalam satu tahun itu memang sangat besar. Pada tahun 2009 saja, penjualan sepeda motor mencapai 5.851.962 juta unit. Tahun sebelumnya, angka penjualan sepeda motor lebih besar lagi, yakni 6.215.865 unit, terbesar sepanjang sejarah.
Ada banyak hal yang menyebabkan jumlah angka penjualan sepeda motor sebesar itu. Ada yang mengatakan, itu terjadi karena harga sepeda motor secara relatif terjangkau, selain itu juga karena uang muka dan cicilannya sangat rendah, atau alasan yang paling akhir dan yang paling penting adalah karena sepeda motor merupakan sarana transportasi yang paling murah.
Sayangnya, banyak orang, termasuk pejabat pemerintah, yang keliru memahami alasan utama mengapa orang menggunakan sepeda motor untuk menjalani kegiatannya sehari-hari. Itu sebabnya, banyak orang yang menyatakan, jika transportasi umum dibuat nyaman, akan dengan sendirinya banyak pengendara motor yang akan beralih ke kendaraan umum. Atau, tidak sedikit pula orang yang mengatakan, jumlah sepeda motor di jalan raya terlalu banyak sehingga produksinya harus dibatasi.
Pernyataan-pernyataan seperti itu tidak akan dilontarkan jika saja orang (dalam hal ini, termasuk juga pejabat pemerintah) memahami alasan yang paling penting mengapa orang memilih sepeda motor sebagai sarana transportasi?
Sebagai salah satu contoh, misalnya, Abdullah (sebut saja begitu) tinggal di wilayah Parung, Bogor. Ia berkantor di bilangan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Jika ia menggunakan transportasi umum ke kantornya, untuk sekali jalan ia memerlukan uang sekitar Rp 18.000. Jumlah uang yang harus dikeluarkannya untuk pulang dan pergi sekitar Rp 36.000. Total dalam satu bulan, minus empat hari Minggu, ia mengeluarkan uang sekitar Rp 936.000. Belum lagi jika ia keluar untuk berekreasi pada hari Minggu, maka jumlahnya melampaui Rp 1 juta. Itu hanya untuk biaya transportasi. Bagi orang berpenghasilan Rp 2 juta per bulan, pengeluaran sebesar itu tentunya sangat banyak.
Namun, dengan menggunakan sepeda motor, uang sekitar Rp 18.000 dapat digunakan Abdullah minimal untuk membiayai transportasi selama seminggu. Dalam waktu satu bulan, ia hanya memerlukan uang Rp 72.000. Dengan demikian, dalam satu bulan ia dapat menghemat Rp 928.000. Tentunya Abdullah tidak sendirian, ada banyak sekali orang yang mempunyai pikiran yang sama.
Tersedianya transportasi yang nyaman bukanlah jalan keluar bagi Abdullah, kecuali jika pemerintah dapat menyediakan transportasi yang nyaman dan murah. Paling tidak mendekati murahnya menggunakan sepeda motor sebagai sarana transportasi. Apalagi, dengan menggunakan sepeda motor, selain murah, fleksibilitas dan daya jelajah Abdullah pun menjadi sangat tinggi. Ia dapat bepergian ke mana saja tanpa harus mengeluarkan biaya yang besar.
Jangan dibatasi
Dalam kaitan itu pulalah, munculnya keinginan untuk membatasi produksi sepeda motor sama sekali tidak masuk akal karena itu adalah kebijakan yang tidak berpihak kepada kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah. Selain menutup peluang semakin banyak orang untuk bertransportasi secara murah, membatasi jumlah produksi sepeda motor juga akan mengakibatkan banyak orang akan kehilangan pekerjaan.
Membatasi jumlah produksi sepeda motor karena menganggapnya sudah terlalu banyak sama dengan mengurangi jumlah karyawan yang bekerja di pabrik yang memproduksi sepeda motor. Jika itu yang terjadi, sebagai rentetannya akan sangat banyak orang yang akan kehilangan mata pencariannya. Mulai dari pemasok berbagai barang keperluan pabrik sampai penjual makanan dan minuman serta penyedia kos atau kontrakan di sekitar pabrik.
Bahwa jumlah pengendara sepeda motor yang lalu lalang di jalan raya itu sangat banyak, tidak ada yang membantahnya. Namun, yang perlu dilakukan bukan dengan mengurangi jumlahnya, melainkan mengatur pergerakan sepeda motor agar tidak menumpuk di satu ruas jalan tertentu. Dalam kaitan itulah, manajemen lalu lintas (traffic management) sangat diperlukan, demikian juga dengan disiplin pengendara motor dalam berlalu lintas. Yang dimaksud dengan disiplin lalu lintas, mencakup kepatuhan pengendara sepeda motor sebagai pengguna jalan terhadap rambu-rambu dan tanda-tanda lalu lintas.
Penyebab kemacetan lalu lintas bukan hanya jumlah sepeda motor yang terlalu banyak di jalan atau juga bukan hanya karena pengendara motor tidak patuh pada rambu-rambu dan tanda-tanda lalu lintas. Kemacetan itu juga melibatkan jumlah mobil yang terlalu banyak. Secara menyeluruh dapat dikatakan bahwa jumlah kendaraan tidak sebanding dengan panjang ruas jalan yang tersedia. Mengingat jumlah kendaraan bermotor bertambah sesuai dengan deret ukur, sedangkan panjang ruas jalan bertambah sesuai deret hitung.
Keadaan itu diperparah oleh perilaku hampir semua pengguna jalan yang mengabaikan rambu-rambu dan tanda-tanda lalu lintas. Mulai dari pejalan kaki, penumpang kendaraan umum, pengemudi kendaraan umum (baik itu bus antarkota, bus dalam kota, metromini, mikrolet, maupun angkot), pengemudi kendaraan pribadi, pengendara sepeda motor, hingga pedagang kaki lima.
Kepada pemerintah daerah atau pemerintah kota diharapkan tidak hanya mencari penyelesaian yang gampang dan jangka pendek saja, karena tidak ada cara yang gampang untuk mengurai kemacetan lalu lintas secara tuntas.
Untuk mengurai kemacetan lalu lintas diperlukan penyelesaian menyeluruh, yang melibatkan semua pengguna jalan, dan diterapkan secara konsisten. Setiap pelanggaran terhadap rambu-rambu dan tanda-tanda lalu lintas harus ditindak dengan tegas, tanpa pilih bulu. Jika hal itu dilakukan, jumlah sepeda motor yang banyak itu sama sekali tidak menjadi persoalan.
Bahkan, pada saat semua kendaraan berhenti di lampu pengatur lalu lintas, atau semua kendaraan tertahan karena satu dan lain hal, maka tiba-tiba jumlah sepeda motor yang ikut berhenti atau tertahan itu sedemikian banyaknya hingga sering diibaratkan mirip kawanan lebah di sarangnya.
Angka penjualan sepeda motor dalam satu tahun itu memang sangat besar. Pada tahun 2009 saja, penjualan sepeda motor mencapai 5.851.962 juta unit. Tahun sebelumnya, angka penjualan sepeda motor lebih besar lagi, yakni 6.215.865 unit, terbesar sepanjang sejarah.
Ada banyak hal yang menyebabkan jumlah angka penjualan sepeda motor sebesar itu. Ada yang mengatakan, itu terjadi karena harga sepeda motor secara relatif terjangkau, selain itu juga karena uang muka dan cicilannya sangat rendah, atau alasan yang paling akhir dan yang paling penting adalah karena sepeda motor merupakan sarana transportasi yang paling murah.
Sayangnya, banyak orang, termasuk pejabat pemerintah, yang keliru memahami alasan utama mengapa orang menggunakan sepeda motor untuk menjalani kegiatannya sehari-hari. Itu sebabnya, banyak orang yang menyatakan, jika transportasi umum dibuat nyaman, akan dengan sendirinya banyak pengendara motor yang akan beralih ke kendaraan umum. Atau, tidak sedikit pula orang yang mengatakan, jumlah sepeda motor di jalan raya terlalu banyak sehingga produksinya harus dibatasi.
Pernyataan-pernyataan seperti itu tidak akan dilontarkan jika saja orang (dalam hal ini, termasuk juga pejabat pemerintah) memahami alasan yang paling penting mengapa orang memilih sepeda motor sebagai sarana transportasi?
Sebagai salah satu contoh, misalnya, Abdullah (sebut saja begitu) tinggal di wilayah Parung, Bogor. Ia berkantor di bilangan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Jika ia menggunakan transportasi umum ke kantornya, untuk sekali jalan ia memerlukan uang sekitar Rp 18.000. Jumlah uang yang harus dikeluarkannya untuk pulang dan pergi sekitar Rp 36.000. Total dalam satu bulan, minus empat hari Minggu, ia mengeluarkan uang sekitar Rp 936.000. Belum lagi jika ia keluar untuk berekreasi pada hari Minggu, maka jumlahnya melampaui Rp 1 juta. Itu hanya untuk biaya transportasi. Bagi orang berpenghasilan Rp 2 juta per bulan, pengeluaran sebesar itu tentunya sangat banyak.
Namun, dengan menggunakan sepeda motor, uang sekitar Rp 18.000 dapat digunakan Abdullah minimal untuk membiayai transportasi selama seminggu. Dalam waktu satu bulan, ia hanya memerlukan uang Rp 72.000. Dengan demikian, dalam satu bulan ia dapat menghemat Rp 928.000. Tentunya Abdullah tidak sendirian, ada banyak sekali orang yang mempunyai pikiran yang sama.
Tersedianya transportasi yang nyaman bukanlah jalan keluar bagi Abdullah, kecuali jika pemerintah dapat menyediakan transportasi yang nyaman dan murah. Paling tidak mendekati murahnya menggunakan sepeda motor sebagai sarana transportasi. Apalagi, dengan menggunakan sepeda motor, selain murah, fleksibilitas dan daya jelajah Abdullah pun menjadi sangat tinggi. Ia dapat bepergian ke mana saja tanpa harus mengeluarkan biaya yang besar.
Jangan dibatasi
Dalam kaitan itu pulalah, munculnya keinginan untuk membatasi produksi sepeda motor sama sekali tidak masuk akal karena itu adalah kebijakan yang tidak berpihak kepada kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah. Selain menutup peluang semakin banyak orang untuk bertransportasi secara murah, membatasi jumlah produksi sepeda motor juga akan mengakibatkan banyak orang akan kehilangan pekerjaan.
Membatasi jumlah produksi sepeda motor karena menganggapnya sudah terlalu banyak sama dengan mengurangi jumlah karyawan yang bekerja di pabrik yang memproduksi sepeda motor. Jika itu yang terjadi, sebagai rentetannya akan sangat banyak orang yang akan kehilangan mata pencariannya. Mulai dari pemasok berbagai barang keperluan pabrik sampai penjual makanan dan minuman serta penyedia kos atau kontrakan di sekitar pabrik.
Bahwa jumlah pengendara sepeda motor yang lalu lalang di jalan raya itu sangat banyak, tidak ada yang membantahnya. Namun, yang perlu dilakukan bukan dengan mengurangi jumlahnya, melainkan mengatur pergerakan sepeda motor agar tidak menumpuk di satu ruas jalan tertentu. Dalam kaitan itulah, manajemen lalu lintas (traffic management) sangat diperlukan, demikian juga dengan disiplin pengendara motor dalam berlalu lintas. Yang dimaksud dengan disiplin lalu lintas, mencakup kepatuhan pengendara sepeda motor sebagai pengguna jalan terhadap rambu-rambu dan tanda-tanda lalu lintas.
Penyebab kemacetan lalu lintas bukan hanya jumlah sepeda motor yang terlalu banyak di jalan atau juga bukan hanya karena pengendara motor tidak patuh pada rambu-rambu dan tanda-tanda lalu lintas. Kemacetan itu juga melibatkan jumlah mobil yang terlalu banyak. Secara menyeluruh dapat dikatakan bahwa jumlah kendaraan tidak sebanding dengan panjang ruas jalan yang tersedia. Mengingat jumlah kendaraan bermotor bertambah sesuai dengan deret ukur, sedangkan panjang ruas jalan bertambah sesuai deret hitung.
Keadaan itu diperparah oleh perilaku hampir semua pengguna jalan yang mengabaikan rambu-rambu dan tanda-tanda lalu lintas. Mulai dari pejalan kaki, penumpang kendaraan umum, pengemudi kendaraan umum (baik itu bus antarkota, bus dalam kota, metromini, mikrolet, maupun angkot), pengemudi kendaraan pribadi, pengendara sepeda motor, hingga pedagang kaki lima.
Kepada pemerintah daerah atau pemerintah kota diharapkan tidak hanya mencari penyelesaian yang gampang dan jangka pendek saja, karena tidak ada cara yang gampang untuk mengurai kemacetan lalu lintas secara tuntas.
Untuk mengurai kemacetan lalu lintas diperlukan penyelesaian menyeluruh, yang melibatkan semua pengguna jalan, dan diterapkan secara konsisten. Setiap pelanggaran terhadap rambu-rambu dan tanda-tanda lalu lintas harus ditindak dengan tegas, tanpa pilih bulu. Jika hal itu dilakukan, jumlah sepeda motor yang banyak itu sama sekali tidak menjadi persoalan.
No comments:
Post a Comment